Kawah Ijen Banyuwangi dan Pertanyaan Orang Single

Aiq Edogawa
4 min readJun 25, 2024

--

Kunjunganku ke Jember tepatnya di daerah Bangka yang alamat pastinya tidak kuketahui, lagipula tidak akan kutulis secara gamblang di sini untuk kepentingan privacy adalah untuk melakukan perjalanan — yang konsepnya lebih kita kenal dengan nama trip ke Kawah Ijen Banyuwangi. Trip ini tidak dilatarbelakangi oleh apapun selain keinginan saja. Aku tidak punya wish list ke Ijen sebab terdengar tidak mungkin jika ditinjau dari letaknya yang berada di ufuk timur pulau Jawa dan jalurnya yang sama sekali tak kuketahui jeluntrungannya.

Meski aku lahir dan besar di daerah Jember yang notabene dekat dengan berbagai wisata seperti Kawah Ijen tadi, Air Terjun Tumpak Sewu, Gunung Semeru, Gunung Bromo, dan wisata terkenal lainnya di Jatim, aku tidak pernah memasukkan tempat tersebut sebagai objek wisata yang ingin kukunjungi. Aku tidak punya teman trip sebagaimana yang kupunya di Jawa Tengah. Jadi kalau mau dibandingkan, aku merasa lebih memungkinkan untuk jalan-jalan di daerah Jawa Tengah daripada Jawa Timur.

Namun sejak mengenal tanteku, aku jadi punya teman trip. Walau trip kami baru sekitar daerah terdekat saja seperti Kebun Teh Rengganis di Gunung Gambir, atau daerah-daerah ikonik di sekitar Jateng seperti Yogyakarta, Solo, dan Magelang, trip tetaplah trip. Dan awal bulan Juni 2024 ini, tanteku tiba-tiba mengajakku ke Kawah Ijen. Tanpa babibu aku langsung mau. Kami mencocokkan jadwal, aku menanyakan teknis, lalu the rest of all, tanteku yang urus.

Hari untuk trip pun tiba. Dengan menaiki kereta Sri Tanjung dari Solo, aku sampai di stasiun Jember. Sehari setelahnya kami ke stasiun Jember lagi untuk naik kereta Probowangi seharga 8ribu rupiah menuju stasiun Ketapang, Banyuwangi.

Keluar dari stasiun aku disuguhi pemandangan menakjubkan khas Pelabuhan; mobil-mobil besar antri untuk menyeberang yang menyebabkan macet jalanan. Kerlap-kerlip lampu dari truk, mobil box, hingga bahkan mobil biasapun serasa intimidatif menerangiku yang sibuk merekam suasana yang buatku begitu baru. Angin asing mengingatkanku bahwa aku sedang berada di pelabuhan, suatu tempat yang membuatku harus terus waspada akan bawaan yang kubawa.

Selepas dari stasiun Ketapang itu, kami menunggu untuk dijemput. Sekitar tengah dini hari agen trip telah menghubungi tanteku dan berikutnya kami dibawa ke pos pendakian Kawah Ijen. Butuh sekitar satu jam untuk menuju lokasi, dan sesampainya di sana, rasa dingin khas dataran tinggi mulai kurasa. Cuaca sedang hujan sehingga aku merasa pendakian ini akan hanya menciptakan kenikmatan mendaki dan liburan saja, tanpa ada kenikmatan dari hasil foto-foto yang bagus.

Nikmat mendaki yang kurasakan saat melakukan trip ke kawah Ijen adalah ketakjuban atas banyaknya turis mancanegara yang kutemui di pos pendakian. Sungguh, hampir di tiap sudut meja basecamp, duduk beberapa orang asing yang berbicara menggunakan bahasa mereka masing-masing. Kudengar ada yang berbicara semacam bahasa Spanyol, bahasa India, bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Mandarin, bahkan bahasa Indonesia tak begitu terdengar dari radar pendengaranku. Wow aku tidak menyangka bahwa Kawah Ijen akan menarik begitu besar perhatian dunia.

Jujur saja ini menakjubkan, sebab beberapa kali mendaki gunung di Jawa Tengah seperti Merapi, Lawu, Andong, atau bukit Mongkrang, turis terjauh yang kutemui hanya sebatas ngobrolnya ‘gue-elu’. Jadi mendapati pos pendakian Kawah Ijen ini dipenuhi turis dari berbagai negara membuatku takjub. Sungguh.

Setelah mendaki sejak sekitar pukul 2.30an pagi, aku dan tanteku sampai di kawah sekitar pukul 4 pagi. Saking mengularnya antrian dari orang-orang yang ingin melihat blue fire, aku dan tanteku memutuskan untuk berhenti dan kembali ke atas. Namun sepertinya Tuhan beringin hal lain. Rasa-rasanya Ia ingin juga sombong pada kami. Maka dipertemukanlah kami dengan tour guide yang sejak awal memimpin kami untuk mendaki, namun kami kehilangan jejaknya sebab tempo mendakinya sudah kelas kakap sementara kami tidak berkelas apa-apa, alias slow banget brotherrrrr!

Keinginan kami untuk kembali ke atas tanpa menikmati blue fire diurungkan oleh berbagai penjelasan dari si tour guide. Aku turun, mendekat, lalu takjub untuk kedua kalinya pada Kawah Ijen. Kutemui ada jilatan api warna biru yang melambai-lambai, mengalir menuruni kawah seolah-olah memanggilku untuk mendekat. Dan sepertinya api biru itu juga memanggil orang lain juga, sehingga tak hanya aku sendiri yang mendekat padanya. Aku takjub, dan benar-benar nyata api itu menjilati udara. Ia nampak seperti air, yang jikalau aku tidak menahan diri, sepertinya aku akan memperlakukannya bak aku memperlakukan air; kusentuh, kutadah dengan telapak tangan, lalu kuraupkan ke muka.

Tanpa terasa, sedikit demi sedikit terang cahaya matahari menampakkan pemandangan sekitar. Aku seperti sedang menjalani secara langsung suasana dalam deskripsi kalimat khas pembukaan pidato-pidato formal ala Islam yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad-lah yang membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang seperti sekarang.

Aku takjub untuk ketiga kalinya.

Pertama kali dalam seumur hidupku, aku menemui kawah berwarna hijau tosca dengan diitari kepul-kepul asap putih beraroma khas; belerang. Kusegerakan diriku untuk naik ke atas dan dengan pandangan yang lebih jelas kulihat genangan cairan tosca hijau itu dengan lebih takjub. Dugaanku di awal yang menyangka bahwa pendakian ini akan hanya menciptakan kenikmatan mendaki dan liburan saja tanpa ada kenikmatan dari hasil foto-foto yang bagus seketika sirna.

Aku kemudian mempercayai informasi agen trip yang sebelumnya sudah meyakinkan kami bahwa di puncak Kawah Ijen jarang sekali hujan. Hal tersebut disebabkan oleh keadaan alam yang mendukungnya untuk tidak terjadi hujan. Ada reaksi-reaksi ilmiah yang menyebabkan hujan enggan datang. Dan aku sudah membuktikannya.

Setelah puas menikmati berbagai keindahan di puncak Kawah Ijen, aku dan tanteku memutuskan untuk turun. Kami menuruni track dengan perasaan begitu senang. Saking senangnya, kami lalu berangan-angan masa yang akan datang. Dalam pikiran kami sama-sama terlontar sebuah pertanyaan, “Kalau kita sudah menikah, masih bisakah kita berjalan-jalan sebebas ini kemanapun yang kita mau ya, dik?”

--

--