Kita Hidup Bukan untuk Hidup

Aiq Edogawa
2 min readJan 24, 2023

--

Baru saja aku mendengar cerita dari Babsbee yang secara random bercerita mengenai kepala sekolahnya. Ia ingat dengan jelas pada suatu senin ketika ia mengikuti upacara selayaknya anak SD pada umumnya, sang pembina upacara yang sekaligus kepala sekolahnya itu menyampaikan bahwa ia siap jika nyawanya dicabut detik itu juga. Aku bergidik. Kukira akan ada lanjutan cerita seperti setelah mengucapkan pidato itu, sedetik kemudian si pembina upacara tiba-tiba rubuh tak sadarkan diri atau punchline cerita yang menegangkan lainnya, ternyata tidak ada.

Di gelembung pesan berikutnya, Babsbee meneruskan cerita dengan, “Mendengar pidato kepala sekolah itu, temenku bercandain dengan bilang ‘yowes matio saiki’”. Dan seorang Babsbee, ia membutuhkan waktu puluhan bulan untuk memaknai pidato dari sang kepala sekolah. Ia melanjutkan, “Sekarang aku sadar, kalau hidup itu bukan untuk hidup, tapi untuk mati.”

Aku terkekeh mendengar kultumnya hari ini. Kuanggap itu kultum sebab secara waktu ia menyampaikannya tepat ketika aku sedang menunggu adzan maghrib berkumandang untuk menunaikan buka puasa pertamaku di bulan Rajab. Kedua, secara durasi, walau hanya disampaikan lewat chat, pembicaraan mengenai ‘hidup untuk mati’ itu berlangsung sekitar 6–7 menit.

Dengan keyakinannya yang kuat, ia bersilah bahwa hidup yang merdeka itu bukan hanya dilihat dari merdekanya kita dari segi finansial, namun juga merdekanya kita dari perasaan takut akan kematian. Berani pada kematian kurasai sebagai hal yang sombong, tapi setelah mendengar penjelasan Babsbee, rasanya masuk akal juga. Untuk menjadi siap mati kapanpun, manusia butuh persiapan yang matang dan persiapan itu dilakukan detik ini juga dan secara terus-menerus.

Tidak sedikit manusia yang takut untuk mati sebab mereka mengganggap bahwa dirinya masih banyak dosa. Padahal ‘kan kalau dipikir-pikir, mati itu sederhana. Kita hanya diminta untuk memertanggungjawabkan segala laku yang pernah kita perbuat di dunia. Mengapa takut? Apakah karena laku buruk kita lebih banyak dibanding laku baiknya? Bisa jadi. Tapi dengan memperpanjang durasi hidup di dunia, bukankah itu juga memperlebar potensi untuk menabung akibat dari laku-laku buruk selanjutnya? Think twice.

Tapi jika dilihat dari perspektif lain, kedua hal yang berseberangan ini — kehidupan dan kematian sama-sama dapat dijadikan sarana kebaikan. Kematian misalnya, menurut Gus Baha, manusia harusnya tidak perlu bersedih akan kematian, sebab menurutnya, kematian merupakan cara paling efektif untuk memutus kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang.

Kalaupun pula kita diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup, kita juga tetap perlu menganggapnya sebagai sarana kebaikan, sebab dilanjutkannya kehidupan berarti kita diberi lagi oleh Tuhan kesempatan untuk memerbaiki perbuatan-perbuatan kita yang mungkin jauh dari ajaran Nabi. Perbaikan-perbaikan ini ujungnya pun juga akan dibuat bekal untuk kehidupan selanjutnya.

In a nutshell, sejalan dengan apa yang diungkapkan Babsbee di kuliah tujuh menitnya itu benar bahwa; hidup bukan untuk hidup, tapi untuk mati.

Good luck! ❤

--

--

Aiq Edogawa
Aiq Edogawa

Written by Aiq Edogawa

I write what I read then I read what I write.

No responses yet