Pembatas Buku

Aiq Edogawa
4 min readJun 1, 2024

--

Begitu menemui salah satu bukuku pembatasnya hilang, aku langsung panik. Dengan segera aku mengaduk-ngaduk isi kotak penyimpanan bukuku dengan harapan aku menemukan apa yang aku cari di sana. Walau dalam hatiku percaya si pembatas buku tidak akan ditemukan dengan mudah, aku tetap saja mencari, sebetulnya hanya untuk menenangkan hati. Namun bukannya tenang, hatiku malah ikut teraduk-aduk. Sesuatu yang aku cari tidak akan pernah ditemukan, dan aku malas untuk memikirkan kemanakah gerangan ia hilang.

Lalu aku memberhentikan investigasi kecilku itu, menutup lemas buku yang awalnya ingin aku baca. Namun dengan cekatan, aku mengambil buku lain. Aku tidak ingin kehilangan suasana ‘menyenangkan untuk baca buku’ di hari Sabtu ini hanya gara-gara pembatas buku yang hilang. Dengan segera aku menuju ruang TV kos, kemudian berencana untuk menjadi produktif melalui dua aktivitas; membaca buku dan menulis.

Di antara kedua aktivitas tadi, aku melakukan yang pertama terlebih dahulu. Aku membaca karangan miliki Sakae Tsuboi berjudul Dua Belas Pasang Mata. Di tengah-tengah buku tersebut kudapati masih tersemat pembatas buku di dalamnya, hatiku lumayan lega. Aku membaca dengan seksama sambil menunggui mesin cuci berputar di ruangan samping tanpa sedikitpun terganggu dengan desing suara mesinnya yang sedang bekerja. Ada satu bagian yang hampir membuatku menangis. Bagian dimana Katoe dinasehati oleh neneknya untuk selalu berpamitan jika ingin pergi kemana-mana. Nasihat tersebut ditutup dengan kalimat, “Tapi pokoknya kau harus makan siang dulu sebelum pergi. Supaya kau tidak sakit.” Air mataku hampir tumpah, tapi aku tahan dengan sangat. Biasa, alasan skincare.

Setelah membaca beberapa halaman berikutnya, aku mulai bosan. Jadi aku membuka laptop yang sudah sedari tadi tergeletak di hadapanku. Kali ini aku menulis mengenai pembatas buku. Benda yang kadang didapat kadang tidak jika kita membeli buku. Benda ini memiliki sejarah yang mengesankan bagiku. Karenanya, mungkin, aku tidak tahu pasti juga, aku memilih untuk menjadi introvert. Aku tidak tahu persis jika ditinjau secara ilmiah, apakah jenis keperibadian itu dipilih atau terbentuk atau malah dibentuk. Namun aku mendiagnosa bahwa aku memilih menjadi introvert, karena pembatas buku itu.

Adalah aku, seorang siswi yang sedang duduk di kelas 8. Orang-orang angkatan tua menyebutnya kelas 2 SMP. Tidak penting aku masuk di kelas apa, yang paling jelas dalam ingatanku adalah, karena pembatas buku itulah aku dikucilkan teman-temanku. Sejak kejadian itu aku merasa tidak belong to anyone, anybody, or anything.

Kejadian itu bermula dari kesengajaanku meminjam sebuah buku dari seorang teman kelasku. Kubilang kami cukup dekat waktu itu, anak sekarang mungkin akan menyebutnya ‘sesirkel’. Aku ingat samar-samar mengenai judul yang aku pinjam, kalau tidak salah sih mengenai sholat tahajud. Dari proses pinjam tersebut, tanpa sengaja aku menghilangkan pembatas dari buku yang kupinjam tadi. Entah karena aku mengaku menghilangkannya, atau si pemilik buku menyadari dengan sendiri akan hilangnya pembatas buku itu, teman-temanku yang lain di dalam sirkel tersebut mendudukkanku di ruang kelas sambil menjadi hakim atas tindakanku itu. Aku tidak ingat kata apa yang mereka ucapkan, yang aku ingat hanya lontaran kalimat, “Emang kamu pikir beli buku ini pake daon.”

HAHAHAHAHAHAHAHAHA. Aku masih ingat jelas betapa tersenggal-senggalnya nafasku yang tertahan waktu itu. Jantungku berdegup begitu kencang sebab aku tahu bahwa pihak yang memang harus disalahkan adalah aku. Aku meminta maaf dan memilih untuk diam setelahnya.

Mengganti pembatas buku yang hilang itu adalah sebuah ketidakmungkinan bagiku sebab akses toko buku dari sekolahku tidak mudah bagi seorang siswi SMP sepertiku. Ditambah lagi, buku yang tidak masuk pada kategori buku pelajaran menjadi sebuah barang mewah bagiku juga keluargaku, aku merasa bahwa kami tidak akan mampu menjangkaunya. Maka yang aku lakukan hanya meminta maaf. Permintaan maafku nyatanya tidak membuat temank diam. Karena kesalahanku itu, dirundungnya aku habis-habisan. Teman-teman sirkelnya menjauhiku dan bahkan mengajak teman satu kelas untuk menjauhiku juga.

Menjejakkan kaki ke sekolah waktu itu rasanya seperti menjejakkan kaki ke neraka bagiku. Tiap aku masuk kelas, perasaan takut dan tidak nyaman karena menjadi orang yang dikucilkan dan tidak jarang dikata-katain menjadi satu-satunya perasaan yang kurasakan setiap hari. Sialnya aku juga berada dalam satu tempat bimbel dengan mereka, sehingga nerakaku tidak berhenti kala jam sekolah usai, melainkan berlanjut sampai kelas bimbel berlangsung.

Waktu itu di tempat bimbel, aku sedang ditunjuk untuk membaca teks Bahasa Inggris. Perundungku duduk di sebelah kananku. Aku ingat dengan jelas dia berkata, “Ih, si monyet baca.” Aku tidak merasa baik-baik saja waktu itu, aku meminta untuk libur sebentar saja dari bimbel, tapi ibuku tidak mengizinkanku. Wajar saja dia tidak mengizinkan, sebab aku tidak memberi tahu alasan mengapa aku harus libur dari bimbel. Jadinya mau tidak mau, aku harus menjalani nerakaku lebih lama di hari-hari tertentu.

Sejak insiden pembatas buku itu, aku menarik diri dari siapapun. Bagiku, bersama dengan orang lain memberiku pengalaman menakutkan yang tak berkesudahan. Sebabnya aku lebih suka menyendiri. Aku takut saat berteman dengan orang lain, aku akan menyakiti mereka lantas mereka akan menyakitiku balik. Perasaan saling menyakiti itu membuatku menahan diri untuk tidak menjalin pertemanan dengan siapapun. Aku hanya sekadar berkenalan, tidak berjalan ke kantin bersama, tidak duduk menyantap makan siang bersama, tidak berbagi cerita tentang masalah yang kupunya, dan tidak ngapa-ngapain dengan orang lain.

Aku memang memilih untuk menyendiri, walau kukenali banyak orang lain yang tidak akan merundungku lagi, tapi aku memilih untuk sendiri.

Semoga keputusan itu menjadi pilihan yang baik, setidaknya hingga aku dewasa kelak.

--

--